Menurut Prof. Dr. H. Priyatna Abdul  Rasyid, Ph.D. Direktur Kehormatan International Institute of Space Law  (IISL), Paris-Prancis: bukanlah suatu kebetulan ketika Indonesia pada  tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU No. 4  Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan  bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan  wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut  Internasional 1982. Merujuk  penelitian Santos, pada masa puluhan ribu  tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang  menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya  sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang memben-tang
  dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus  ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di  wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi  oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera  Hindia dan Samudera Pasifik.
  dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus  ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di  wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi  oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera  Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori  Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat  letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu  sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era  Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara  bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu,  maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air yang berasal dari  es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan  gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi  di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang  merupakan puncak gunung Toba yang meletus pada saat itu. Letusan yang  paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang  memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat  dataran Sunda.Kata Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya  (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu  merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya,  kekayaan  alam, ilmu pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya. Plato menduga bahwa  letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia  bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang  berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang  oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo,  Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos berbeda dengan Plato mengenai  lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat  terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es di  muka bumi mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah.  Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani  samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit  bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini  mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang  meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang  dahsyat. Santos, dengan mengutip teori para geolog, menamakannya sebagai  Heinrich Events, bencana katastrop yang berdampak global.  Beberapa  artikel resume dari buku Aryso Santos ini dipublikasikan di situs  internetnya di http://www.atlan.org.
Menurut Santos, dalam usaha mengemukakan  pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan  dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar.  Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera  Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat  di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua  yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa  yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Priyatna mengatakan: ”Namun, ada beberapa  keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni  pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh  Santos  dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah  atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya  ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi,  Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah  atau sedang aktif kembali.”
Ketiga, soal semburan lumpur akibat  letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur.  Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan.  Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable  (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus  di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang  menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada  kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari  masa yang lampau.
Menurut Priyatna, bahwa Indonesia adalah  wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat  kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan  internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia.  Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh  Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan  perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.
Konteks Indonesia secara Filosofis dan Spiritual
Secara filosofis dan historis, apa yang telah dirumuskan oleh para Founding Fathers Republik  Indonesia menjadi Panca Sila,  apakah secara langsung atau tidak,  mungkin terinspirasi atau ada kemiripan (paralelisme) dengan konsep  Plato tentang “Negara Ideal” yang tertulis dalam karyanya “Republic”.   Konsep Plato tentang sistem kepemimpinan masyarakat dan siapa yang  berhak memimpin bangsa, bukanlah berdasarkan sistem demokrasi  formal-prosedural yang liberal ala demokrasi Barat (Amerika) saat ini.  Secara sederhana konsep kepemimpinan Platonis adalah “King Philosopher” atau “Philospher King”. Konsep ini Plato dapatkan dari kisah tentang sistem pemerintahan dan negara Atlantis.Menurut Plato suatu bangsa hanyalah akan  selamat hanya bila dipimpin oleh orang yang dipimpin oleh “kepala”-nya  (oleh akal sehat, ilmu pengetahuan dan hati nuraninya), dan bukan oleh  orang yang dipimpin oleh “otot dan dada” (arogansi), bukan pula oleh  “perut” (keserakahan), atau oleh “apa yang ada di bawah perut” (hawa  nafsu). Hanya para filosof, yang dipimpin oleh kepalanya, yaitu para  pecinta kebenaran dan kebijaksanaan-lah yang dapat memimpin dengan  selamat, dan bukan pula para sophis (para intelektual pelacur,  demagog) seperti orang kaya yang serakah (tipe Qarun, “manusia perut”  zaman Nabi Musa), atau tipe Bal’am (ulama-intelektual-penyihir yang  melacurkan ilmunya kepada tiran Fir’aun). Plato membagi jenis karakter  manusia menjadi 3: “manusia kepala” (para filosofof-cendikiawan-arif  bijaksana), “manusia otot dan dada” (militer), dan “manusia perut” (para  pedagang, bisnisman-konglomerat). Negara akan hancur dan kacau bila  diserahkan kepemimpinannya kepada “manusia otot-dada” atau “manusia  perut”, menurut Plato.
Philosophia atau Sapientia, era Yunani itu identik dengan terminologi Hikmah dalam al-Qur’an. Istilah Hikmah terkait dengan Hukum  (hukum-hukum Tuhan Allah SWT yang tertuang dalam Kitab-Kitab Suci para  Nabi dan para Rasul Allah, utamanya Al-Qur’an al-Karim, dan Sunnah  Rasulullah terakhir Muhammad SAW, yang telah merangkum dan melengkapi  serta menyempurnakan ajaran dan hukum rangkaian para nabi dan rasul  Allah sebelumnya. Hukum yang berdasarkan dan bergandengan dengan Hikmah, bila ditegakkan oleh para Hakim dalam sebuah sistem Hukumah   (pemerintahan) inilah yang akan benar-benar dapat merealisasikan  prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,  Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-kebijaksanaan  dalam permusyawaratan-perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh  rakyat Indonesia.
(notes : Aryso Santos juga menemukan bahwa cerita tentang Atlantis terkait dengan  kisah para “dewa’ dalam mitologi Yunani dan perikedupan manusia  pertama, keluarganya dan masyarakat keturunannya,. Cerita ini ada  kemiripan dengan kisah Zeus dalam mitology dan legenda Yunani,  juga  dengan kisah dalam kitab suci Hindu Rig Veda, Puranas, dll. “All  nations, of all times, believed in the existence of a Primordial  Paradise where Man originated and developed the fist civilization ever.  This story, real and true, is told in the Bible and in Hindu Holy Books  such a the Rig Veda, the Puranas and  many others. That this Paradise lay “towards the Orient” no one doubts,  excepting some die-hard scientists who stolidly hold that the different  civilizations developed independently from each other even in such  unlikely, late places such as Europe, the Americas or the middle of the  Atlantic Ocean. This, despite the very considerable contrary evidence  that has developed from essentially all fields of the human sciences,  particularly the anthropological ones. It is mainly on those that we  base our arguments in favor of the reality of a pristine source of human  civilization traditionally called Atlantis or Eden, etc.” tulis Aryso Santos.)   
BERSAMBUNG................................. 





